Monday, 3 June 2013

PENDIDIKAN BUDAYA DAN HUMANIORA

PENDIDIKAN BUDAYA DAN HUMANIORA
1. Manusia Sebagai Makhluk Berbudaya Pengemban Nilai-Nilai Moral
            Dua kekayaan manusia yang paling utama adalah akal dan budi atau yang lazim disebut sebagai pikiran dan perasaan. Di satu sisi akal dan budi atau pikiran dan perasaan tersebut telah memungkinkan munculnya tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih dari pada tuntutan hidup makhluk lain. Dari sifat tuntutan itu ada yang berupa tuntutan jasmani dan ada pula tuntutan rohani. Bila diteliti jenis maupun ragamnya sangat banyak, namun yang pasti semua itu hanya untuk mencapai kebahagiaan. Di sisi lain akal dan budi memungkinkan karya-karya manusia yang sampai kapan pun tidak pernah akan dapat dihasilkan oleh makhluk lain. Cipta,karsa dan rasa pada manusia sebagai buah akal budinya terus melaju tanpa hentinya usaha menciptakan benda-benda baru untuk memenuhi hajat hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun rohani.Dari proses ini,maka lahirlah apa yang disebut kebudayaan. Jadi kebudayaan hakikatnya tidak lain adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi manusia.
            Yang dimaksud manusia sebagai manusia sebagai makhluk berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya. Untuk menciptakan kebahagiaan. Kebahagiaan memang hak semua orang, untuk memperolehnya setiap orang dapat menggunakan cara, gaya, akal dan melalui berbagai upaya sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimilikinya. Bukan hanya dalam memperoleh kebahagiaan, manusia yang mengaku dirinya sebagai makhluk berbudaya dalam menikmati kebahagiaan yang telah dimiliki harus memenuhi ketentuan-ketentuan di atas. Jelasnya untuk mendapatkan maupun menikmati kebahagiaan, manusia yang selalu berusaha tidak mengurangi, apalagi meniadakan sama sekali kebahagiaan pihak lain. Bahkan pihak lain kalau mungkin dapat ikut serta merasakan kebahagiaan itu. Langkah pertama bagi yang berniat menjadi manusia susila atau berbudaya, manusia yang sadar sebagai pengemban nilai-nilai moral ialah manusia yang selalu berusaha memperhatikan dengan sungguh-sungguh penerangan akal dan budi dan berusaha menaatinya.  Harus melatih diri mengekang atau mengendalikan hawa nafsu dan berusaha membatasi keinginan dalam segala segi. Hal itu berarti bahwa seseorang belum dikatakan bermoral apabila dia melihat perbuatan jahat tidak berusaha memberantasnya, hanya dengan alasan kejahatan itu tidak merugikan dirinya. Sebagai pengemban nilai-nilai moral, setiap orang harus merasa terpanggil untuk mengadakan reaksi. Kapan dan dimana saja melihat  perbuatan yang menginjak-injak nilai moral tersebut.
2. Budaya Sebagai Sarana Kemajuan dan Ancaman bagi Manusia.
            Pada abad ke-19, filsuf Hegel membahas budaya sebagai keterasingan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam berbudaya manusia tak menerima begitu saja apa yang disediakan oleh alam, tetapi ia harus mengubahnya dan mengembangkannya lebih lanjut. Dengan berbuat demikian, akan terjadi jurang antara manusia dengan dirinya. Itullah yang dimaksud dengan keterlepasan atau ketersaingan yang menyebabkan terjadinga ketegangan yang terus-menerus. Van Peursen berusaha menjelaskan hal yang tampak serba bertentengan itu. Ia berkata ”Dengan mengembangkan alam, manusia memasukkan alam ke dalam dirinya sendiri.Hal ini hanyalah dimungkinkan apabila dia sadarbahwa dirinya diluar alam. Karena manusia tidak secara otomatis menyatukan diri dengan alam(tetapi melalui berbagai sarana), ia pun berbudaya.Dengan demikian, manisia mampu membuat ketegangan dengan alam dan dari ketegangan itu meletup api budaya.
            Budaya memasukkan dunia kedalam wilayah manusia, lalu menyebabkan dunia menjadi manusiawi. akibatnya manusia mengolah tanah, membangun rumah dan kuil, mempelajari gerakan dan edaran musim. Singkatnya dunia menjadi halaman gerak manusia. Semua mendorong manusia untuk membuat jarak dengan alam berarti mencaplok alam dalam diri manusia.
            Dalam pengalaman sejarah umat manusia, di kenel juga gejala – ejala kelelahan budaya. Manusia mendambakan kehidupan bangsa primitif yang penuh dengan ritus,adat, dan hiasan. Manusia mulai jemu dengan budaya yang melelahkan dan ingin nikmat secara alami. sekalipun bangsa primitif juga memiliki budaya hal itu tak begitu rumit dan melelahkan manusia. Kadang-kadang oran mengira bahwa semakin maju budayanya, semakin banyak dosa yang dibuat. Sebaliknya semakin primitif budaya itu, semakin suci.
            Rousseau mengajak manusia kembali pada alam. (1750). karena alam merupakan suatu yang ideal yang harus semakin di dekati dan di capai oleh manusia.
            sehubungan dengan itu, Hoenderdaal menyimpulkan bahwa budaya itu baaimanapun merupakan bagiandari kehidupan manusia, baik sebagai hjal yan berhara sehinga harus dikejarnya, maupunsebaai yang tak berharga sehingga harus dijauhi. budaya harus kita dekati, tetapi jika kita geabah memandangnya, hal itu akan mengancam kelestarian kita sendiri. Budaya di samping membawa kemuliaan, juga membawa laknat.
            Sehubunan dengan itu, filosof prancis Albert Schwiezer pernah mengatakan bahwa mengmbangkan budaya tanpa etika pasti membawa kehancuran. oleh sebab itu, di anjurkannya agar memperjuankan mati-matian unsur etika di dalam mendasari budaya.
3. Pemahaman hakekat seni, keindahan dan harmoni sosial
            Hampir semua kesalahan kita mengenai konsepsi seni di timbulkan oleh kekurang tepatan dalam pengunaan kata seni dan keindahan. Yang jelas bagi kita ialah bahwa kedua kata itu selalu salah dalam pengunaannya. Kita selalu menganggap bahwa semua yan indah itu adalah seni, atau sebaliknya, bahwa semua seni itu indah dan yang tidak indah itu bukanlah seni. Identifikasi seni dan keindahan seperti ini adalah dasar dari segala kesukaran kita di dalam memberikan apresiasu kepada seni. Bahkan pada orang-orang nyata-nyata sensitif terhadap segi-sei estetispun. anggapan itu secara tidak di sadaari merupakan sensor dalam hal-hal tertentu pada suatu hasil seni kebetulan tidak indah. Seni tidaklah harus indah. baik pandanan hitoris maupun sosiologis ternyata hasil seni serin tidak indah.
            seni tidak identik dengan denan keindahan. Dalam menghadapi sebuah karya seni, tidak hanya kategori keindahan yang bergetar dalam hati seorang penonton, melainkan kateori lainnya juga. perasaan estetik hanya merupakan sebagian saja dari perasaan seni. Sebuah contoh yang sangant sederhana dapat menerangkan bahwa keselarasan tidak selalu merupakan satu-satunya pedoman untuk menimbulkan efek estetik,bahkan penyimpanan menambah efek estetik. Misalnya, meja, persegi, daun meja ditutup dengan taplak yang juga persegi, tetapi taplak itu tidak di pasang sedemikian rupa sehingga tepi taplak tidak selaras dengan daun meja, tetapi justru menyilang. Karena persilangan inilah, efeknya justru lebih menarik dan enak untuk di pandang.
            selain itu perlu kita perhatikan bahwa maniusia menciptakan karya-karya seni dan manusia pula yang menikmati. Manusia tidak melulu merupakan homo estheticus, melainkan sebagai manusia sosial yang secara histiris berakar pada suatu masyarakat dan zaman tertentu. itulah sebabnya dalam menciptakan barang-barang seni seorang seniman juga terpengaruh oleh lingkungan dan zamannya yang munkin oleh enerasi sebelumnya kurang diperhatikan.
            Dunia modern memang penuh kejutan dan ketegangan yang dalam waktu singkat dapat menggoncangkan hati kita akibat adanya sistem komunikasi modern. Generasi muda ketika menciptakan karya seni dan mengekspresikan diri, tidak terdoron oleh ambaran keindahan, melainkan oleh kejutan-kejutan yang mereka alami. Protes terhadap pembunuhan massal, tindakan yang merajalela, kemunafikan kaum beragama yang melarikan diri dalam benteng aagama dan tidak mau melihat martabat manusia diinjak-injak semua itu lebih bermakna dan lebih mendesak bagi seniman modern daripada mengunkapkan hasil kontemplasi yang dinikmati ditempat yang tenang dan tentram. Jeroen Bosch, seorang peukis belanda yan hidup pada abad ke-15, abad penuh pergolakan yang di dalam terjadi peperangan dan wabah pes dan merajalela menampilkan ambar dari impian buruk dan penuh dengan makhluk yang aneh dan menakutkan dalam lukisannya.
4. Sifat-sifat keindahan
Untuk mengatakn suatu itu indah atau tidak, berikut ini akan di ungkapkan sifat keindahan. Atas dasar sifat ini jua akan dikemukakan beberapa tangapan mengenai keindahan.
  1. Keindahan itu kebenaran
Kebenaran artinya bukan tiruan. Oleh karena itu, tiruan lukisan monalisa tidak indah karena dasarnya tidak benar.
  1. Keindahan itu abadi
Abadi artinya tidak pernah dilupakan, tidak pernah hilanh susut.John Keats menyatakan bahwa sesuatu yang indah adalah abadi sedangkan yang tidak abadi tidak indah.
  1. keindahan mempunyai daya tarik
Daya tarik artinya memikat perhatian orang, menyenangkan, tidak membosankan. John Kaets juga menyatakan bahwa sesuatu yang indah itu selain abadi, juga mempunyai daya tarik yang slalu bertambah.
  1. Keindahan itu universal
Universal artinya tidak terikat dengan selera perseorangan, waktu, dan tempat.
  1. Keindahan itu Wajar
Wajar artinya tidak berlebihan dan tidak pula kurang atau menurut apa adanya.
  1. Keindahan itu kenikmatan
Kenikmatan artinya kesenangan yang memberikan kepuasan.
  1. Keindahan itu kebiasaan
Kebiasaan artinya dilakukan berulang-ulang. Yang tidak biasa menjadi biasa karena dilakukan berulang-ulang. Yang tidak biasa tidak indah namun karena dilakukan berulang-ulang sehinga menjadibiasa dan indah.Keindahan dapat dipengaruhi kebiasaan.Kebiasaan mempunyai akibat dalam daya tangkap atas sesuatu. Sesuatu yang tidak nikmat menjadi nikmat karena terbiasa. Sesuatu yang tidak berarti menjadi berarti karena terbiasa. Sesuatu yang tidak indah dapat menjadi indah karena kebiasaan.Akan tetapi menurut Coleridge (1772-1834) kebiasaan jangan pula sampai mengubah konsep keindahan.   
5.   . Pandangan Terhadap Kemakmuran
            Adanya lapisan-lapisansosial atau kedudukan-kedudukan yang berbeda-beda tingkaannya dalam masyaraka, maka di akui pula adanya anggapan umum ukuran kemakmuran bagi iap-iap golongan atau lapisan di dalam masyaraka adalah berbeda.
            Sebenarnya pandangan yang dianut orang-orang terhadap pengertian kemakmuran tidak selalu sama. Misalnya saja, bagi orang-orang yang biasanya berfikir rasional dan eksaks, kemakmuran seseorang aau masyarakat diukur dengan jumlah sera nilai barang-barang dan bahan-bahan yang dimiliki atau yang dikuasai unuk memelihara dan menikmai hidupnya. Makin banyak jumlahnya dan makin tinggi nilainya maka makin tinngi arf kemakmuran hiupnya.Pandangan yang berbeda dengan pandangan di atas adalah yang dianu masyarakat umum, terutama yang hidup di daeah pedesaan. Bagi mereka pengertian kemakmuran tidaklah berbeda dari pada pengertian kebahagiaan. Kbahagiaan adalah suatu keadaan dimana keinginan-keinginan seseorang atau sesuatu masyarakat seibang dengan keadaan material atau sosial yang dimiliki atau di kuasainya.
            Bagi meeka yang tidak membedakan anara kemakmuran dan kebahagiaan, maka seseorang merasa makmur apabila adanya keserasian anara keinginan-keinginannya dan keadaan material atau sosial yang dimiliki atau dikuasainya.
            Unuk mengembalikan kembali perasaan makmur pada seseorang dapa diaasi  melalui dua cara yaitu, pertama keadaaan materi atau sosial ditingkakan sesuai dengan keinginan-keinginan. Kedua kinginan-keinginan diurunkan sesuai dengan keadaan material dan keadaan sosial yang dimiliki.
            Kalau kita bandingkan kedua pandangan di atas, yang pertama bersifat eksak, kalau tidak dinamakan absolut. Pandangan kedua lebih bersifat relatif sebab adanya fakor-faktor keinginan yang pada pokoknya berdasarkan pada perasaan. Pandangan kedua pada akhirnya akan berubah juga sebagai akibat perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses modernisasi yang menuntut untuk berfikir secara eksak dan rasional.
            Berdasarkan uraian di atas dapatlah diarik suau kesimpulan, bahwa kemakmuran adalah suatu suasana umum dimana setiap orang yang berkerja sungguh-sungguh dengan menggunakan kemampuan  yang ada padanya terjamin akan rumah, sandang dan papannya yang layak buat dia sendiri dan keluarganya. Disamping itu, tingkat kemakmuran keluarga atau masyarakat di entukan oleh standard nilai dan norma-norma yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu. Demikian pula, bahwa tingkat kemakmuran banyak di[engaruhi pleh keadaan faktor-faktor demografis, seperti fertilitas, mortalitas, perkawinan, migrasi, dan mobilitas sosial.




Daftar Pustaka 
Widagdho, Djoko,dkk.1991.Ilmu Budaya Dasar. Semarang: Bumi Aksara
Tri Prasetya,Joko,dkk.1991. Ilmu Budaya Dasar.Solo: Rineka Cipta
 Ahmadi, Drs. H. Abu.2003.Ilmu Sosial Dasar.Jakara.Asdi Mahasatya


No comments:

Post a Comment