Monday, 10 June 2013

MENGURAI RENDAHNYA KETAATAN BERAGAMA MASYARAKAT DESA MIYONO KECAMATAN SEKAR KABUPATEN BOJONEGORO (Pendampingan dan Pengorganisasian Masyarakat oleh KKN IAIN Sunan Ampel 2013)

MENGURAI RENDAHNYA KETAATAN BERAGAMA MASYARAKAT DESA MIYONO KECAMATAN SEKAR KABUPATEN BOJONEGORO (Pendampingan dan Pengorganisasian Masyarakat oleh KKN IAIN Sunan Ampel 2013)

ABSTRACT
                The purpose of this study is to determine the development of Islam religion in Miyono Village, Sekar, Bojonegoro. Most of the people in Miyono is Moslem, but the creed about Islam is still minim. That’s way, need to make the solutions  which can upgrade or increase their spirit to more know Islam deeply. Factually, Islam in Miyono is a majority but many characteristic which there in it. There are Islam abangan, Islam kejawen and also Pure Islam (Islam). The problem which was appeared is how the people can learn Islam purely and well. This is our duty to learn them. The solutions are we motive them to know and learn Islam purely. We give spirit and relived the anctivities which can be fasilited for them to know Islam deeply. On of them is we make caderisation to be a scholar of Islam (guru mengaji). We train them inti can be a good scholar of Islam.

Kata kunci: Muslim abangan, Muslim Kejawen dan Muslim taat.

PEMBAHASAN
Secara keseluruhan masyarakat desa Miyono memeluk agama Islam. Namun, ada banyak corak Islam yang mewarnai di Desa Miyono, yaitu: Islam abangan, Islam kejawen, dan Islam taat. Penjelasan yang mendalam mengenai Islam abangan, Islam kejawen dan Islam taat dipaparkan dibawah ini:
Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah. Pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan dianggap lebih cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun, beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat Islam di Mesir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Edward Lane.
Pendapat lainnya ialah bahwa kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti aba'an kurang lebih adalah "yang tidak konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syari'at (Bahasa Jawa:sarengat) adalah kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang yang berarti warna merah.[1] Jadi, Islam abangan disini dimaknai sebagai Islam yang hanya dipeluk dalam hal identitas saja (Islam di KTP). Namun, pada pelaksaan peribadatan mereka terkadang tidak konsekwen atau malah tidak mengerjakan sama sekali.
Makna kejawen berasal dari kata Jawa, yang berarti Islam yang membaur dengan kebudayaan Jawa. Pertama: Sinkretisme, mencampurkan antara Hindu, Budha dan Islam Aliran Kebatinan atau Kejawen tidak menganggap salah ajaran Hindu dan Budha, bahkan mereka mencampurnya dengan Islam hingga menjadi suatu ajaran tersendiri. Adapun dalam Islam Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19) Juga firman Allah: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85).
Kedua: Mereka tidak meyakini Allah Ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan yang benar Padahal inilah inti dari kalimat syahadat yang terdapat padanya dua rukun. Pertama: An-Nafyu (penafikan), yang tedapat dalam kalimat hauqalah maknanya adalah menafikan atau menganggap salah semua sesembahan selain Allah Ta’ala. Kedua: Al-Itsbat (penetapan) , yang terdapat dalam kalimat hauqalah yaitu menetapkan atau meyakini bahwa hanya Allah Ta’ala satu- satunya sesembahan yang benar. Sehingga makna kalimat hauqalah adalah, “Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Ta’ala”. Makna ini terdapat dalam banyak ayat, diantaranya firman Allah Ta’ala: “Yang demikian itu karena Allah Dialah yang haq (untuk disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al- Hajj: 62) Dan telah dimaklumi bersama bahwa syahadat adalah pintu masuk ke dalam Islam.
Ketiga dan Keempat: Kesyirikan dalam rububiyyah dan uluhiyyah Keyakinan mereka bahwa setan- setan Merapi dan Pantai Selatan, seperti Kyai Sapu Jagat, Petruk dan Nyai Roro Kidul adalah pelindung- pelindung mereka, yang bisa memberikan manfaat dan juga menimpakan mudharat, adalah kesyirikan dalam rububiyyah. Mereka juga mendekatkan diri (taqorrub) kepada setan-setan itu dengan berbagai upacara dan mempersembahkan berbagai macam bentuk ibadah.
 Kelima: Tidak melaksanakan shalat. Aliran Kebatinan atau Kejawen tidak mementingkan masalah shalat lima waktu, bagi mereka yang penting sudah eling maka itu cukup sebagai bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala.[2]
Islam taat adalah Islam yang dijalankan sesuai dengan syariat agama Islam. Baik dari segi keimanan dan juga peribadatan. Tidak memasukkan unsur-unsur adat atau ajaran nenek moyang yang melanggar islam didalamnya.[3] Fenomena yang terjadi di Desa Miyono ini seakan membaurkan ketiga makna Islam yang telah terklasifikasikan tadi. Perbedaan yang sangat tipis antara ketiganya, juga menjadi pemicu ahwaIslam yang diajarkan oleh nenek moyang adalah ajaran Islam yang benar.
Hal ini tidak terlepas dari sejarah Desa Miyono sendiri, karena pada awalnya penduduk Desa Miyono memang bukanlah pemeluk agama Islam. Dan pada tahun 1995 ada seorang perintis yang mempunyai background pendidikan agama Islam cukup mumpuni dating ke desa tersebut. Namanya bapak Akhyar, beliau berasal dari Baureno yang merupakan lulusan dari IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saat beliau datang keadaan masyarakat Desa Miyono memeluk agama Islam yang kebanyakan Islam abangan, dan sebagian lagi Islam kejawen serta Islam taat. Kegiatan keagamaan di desa tersebut belum terlaksana dengan maksimal. Bahkan banyak tempat ibadah (Masjid dan Mushola) masih tidak terawat hanya bangunan dari kayu dan beralaskan tanah.
Masjid pertama yang berupa bangunan adalah masjid Darussalam yang berada di Dusun Krajan pada tahun 1997. Pembangunan masjid tersebut tidak lepas dari bantuan Pak Akhyar melalui penyebaran proposal. Setelah selesai direnovasi, masjid sudah mulai ramai jamaah, meski tidak sampai penuh. Kegiatan rutinitas keagamaanpun mulai berjalan sedikit demi sedikit.
Hingga saat ini, hampir semua dusun di desa Miyono sudah memiliki masjid. Namun, hanya Dusun Kathok yang tidak mempunyai masjid dan harus bergabung dengan Dusun Buthak. Karena letak Dusun Kathok yang berada di atas gunung dan akses jalan yang harus dilalui sangtlah berat, hal inilah ysng menjadikan masyarakat merasa enggan untuk beribadah di masjid.
Jama’ah yang salat di masjid-masjid berkisar antara 2-15 orang saja, hanya di dusun Krajan yang jumlah jama’ahnya lumayan itupun kalau malam. Kalau siang hamper semuanya bekerja. Tidak hanya jalan yang menjadi faktor masjid sepi, karena kegiatan harian masyarakat Desa Miyono yang padat. Urusan perekonomian cukup menyita waktu. Sehingga, masalah ibadahpun terlupakan. Setiap hari, dari pagi sampai sore masyarakat khususnya laki-laki bekerja di sawah dan ladang (baun), baru sore hari mereka kembali ke rumah.
Hampir setiap dusun pula terdapat TPQ. Namun, karena banyak faktor menyebabkan dua diantara lima dusun tersebut kehilangan TPQ. Di Dusun Krajan TPQ sudah berjalan dengan baik, karena terdapat 2 TPQ di dusun tersebut. TPQ Darussalam dan TPQ Al-Hikmah. Di dusun Gayam terdapat satu TPQ yaitu Al-Mafaz. Sedangkan, di Buthak dan Kathok TPQ dijadikan satu di dusun Buthak dengan satu pengajar yaitu Pak Purnomo. Tetapi, TPQ tersebut hanya berjalan pada waktu musim kemarau saja. Saat musim hujan TPQ tersebut libur karena akses jalan menuju tempat tersebut sulit dijangkau. Jalan tersebut masih terbuat dari makadam dan licin. Selain itu Pak Purnomo, juga sebagai pengajar tunggal dan sebagai tulang punggung keluarga sehingga waktunya banyak tersita untuk kegiatan perekonomian. Sedangkan, di Dusun Rejoso dulunya ada sebuah TPQ yaitu Al-Huda. Namun, karena ada suatu kejadian yaitu pak Kasun Supardi yang juga sekaligus sebagai pengajar disana mendapat kecelakaan dan wafat. Sehingga, tidak ada lagi yang menjadi pengajar di TPQ tersebut. Akhirnya, TPQ tersebut vakum sampai sekarang.

RENDAHNYA KETAATAN BERAGAMA MASYARAKAT DESA MIYONO
Seluruh masyarakat Desa Miyono mayoritas beragama Islam. Namun, hanya sebatas Islam di KTP saja atau muslim abangan. Ada juga sebagian muslim kejawen yang masih kental dengan adat istiadat Jawa. Tetapi, ada pula masyarakat Desa Miyono yang memang taat dalam menjalankan agama Islam. Dengan prosentase masyarakat Desa Miyono yang masih muslim abangan yaitu 85%, muslim taat atau santri10 %, dan sisanya yaitu 5% adalah muslim kejawen.[4]
Dilihat dari prosentase diatas, masih banyak masyarakat yang menjadi muslim abangan. Berarti masyarakat Desa Miyono masih rendah akan tingkat ketaatan beragama Islam. Hal tersebut terbukti dengan masih sedikitnya jama’ah salat lima waktu di masjid-masjid tertentu, bahkan masjid-masjid ini juga sepi walaupun pada saat salat Jumat, salat yang berhukum wajib bagi umat Islam.
Tingkat ketaatan beragama Islam masyarakat Desa Miyono juga dipengaruhi dengan kurangnya pengetahuan akan agama Islam, ditambah lagi dengan keterbatasan waktu masyarakat tersebut untuk belajar agama maupun melakukan kegiatan keagamaan. Karena masyarakat Desa Miyono mayoritas bekerja di sawah dan ladang mulai dari pagi sampai sore hari.
Selain keterbatasan pengetahuan agama dan waktu, desa ini juga tidak mempunyai banyak tokoh agama yang menjadi panutan masyarakat. Bahkan modin perempuanpun tidak ada di desa ini. Jika ada orang perempuan yang meninggal, maka yang merawat jenazahnya adalah keluarganya dengan dibantu Bu Bayan dalam pengawasan modin laki-laki.
Selain faktor diatas, rendahnya ketaatan beragama Islam masyarakat Desa Miyono juga dipengaruhi oleh pelaksanaan kegiatan keagamaan yang kurang maksimal. Pelaksanaan kegiatan keagamaan yang kurang maksimal ini terjadi akibat tidak adanya konjungsi antara harapan dan realitas yang ada.  Disatu sisi mayarakat ingin sekali memaksimalkan kegiatan keagamaan Islam yang ada seperti yasinan, tahlilan, maupun dziba’an. Sementara disisi lain, rendahnya tingkat kemampuan membaca Al-Qur’an dan tidak adanya tokoh agama yang memadai menjadikan kegiatan tersebut kurang maksimal.
            Kepercayaan masyarakat desa Miyono masih terbagi dalam dua karakteristik, yaitu masyakat yang masih tergolong muslim abangan dan muslim taat. Dari karakteristik yang berbeda tersebut, tentunya rutinitas ritual keagamaan masyarakat desa Miyono juga berbeda. Masyarkat yang tergolong muslim taat melakukan kegiatan keagamaan seperti salat 5 waktu, puasa, zakat, tahlil, serta mengaji. Sedangkan, masyarakat muslim abangan masih belum sepenuhnya mengerjakan hal yang wajib dan sunnah dalam beragama Islam. Masyarakat yang tergolong muslim taat, sudah banyak melakukan hal-hal yang bersifat wajib dan sunnah dalam agama Islam. Namun, pada masyarakat muslim abangan terlihat sekali bahwa pengetahuan beragama mereka tergolong rendah. Hal tersebut tentu dipengaruhi oleh kurangnya tokoh agama atau tokoh masyarakat yang menjadi panutan atau figur bagi mereka. Memang makna tokoh agama atau kyai pada desa ini merupakan orang yang bisa memimpin dalam hal keagamaan, misalnya: salat, tahlilan,dll.
Berdasar dari berbagai sumber, masalah-masalah yang ditemukan di wilayah desa Miyono adalah masalah yang condong pada aspek keagamaan yang ditenggarai penyebab dari masalah tersebut berakar dari masalah ekonomi dan pendidikan. Jika dilihat dari segi ekonomi, masyarakat desa Miyono tergolong masyarakat yang menegah kebawah yang membuat mereka meyibukkan diri dalam hal bekerja, dan rata-rata masyarakat desa Miyono bekerja sebagai petani yang rata-rata jam kerjanya dari pagi sampai sore hari. Hal tersebut yang menjadika tidak adanya waktu untuk mereka melakukan rutinitas ibadah dan belajar ilmu agama islam lebih dalam lagi. Tidak hanya itu, kurangnya tokoh agama yang menjadi figur atau panutan juga sedikit sekali. Oleh karena itui menjadikan pengetahuan masyarakat tentang agama juga kurang, tambah lagi dengan sedikitnya masyarakat yang berbasis pendidikan pondok.
PEMECAHAN MASALAH
Pemecahan masalah merupakan rangkaian proses dalam pemecahan masalah yang terfokus pada masalah yang telah ditemukan di Desa Miyono, yakni tentang lemahnya pengetahuan beragama Islam masyarakat Desa Miyono. Langkah yang dimulai adalah dengan observasi lapangan yang dilakukan dengan wawancara di rumah-rumah warga. Dan, dari warga kebanyakan mengatakan masalah agama-lah yang paling berpengaruh. Dari hasil observasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa masalah utamanya adalah lemahnya pengetahuan beragama Islam yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu karena warga yang terlalu sibuk bekerja, kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya beragama, dan kurangnya tokoh agama sebagai figur atau panutan serta kurangnya tokoh masyarakat sebagai penggerak dalam melakukan rutinitas kegiatan keagamaan.
Berkurangnya masyarakat yang abangan dengan mengadakan aktifitas TPQ yang diharapkan akan berjalan dengan baik. Dari beberapa faktor penyebab lemahnya pengetahuan beragama pada masyarakat Desa Miyono di atas, maka langakah pertama yang dapat kita laksanakan adalah mencari serta menggali potensi yang dapat meningkatkan pengetahuan beragama masyarakat Desa Miyono, dengan cara mencari kegiatan rutinan keagamaan yang mempunyai dampak secara langsung terhadap peningkatan pengetahuan beragama masyarakat yang biasa dilakukan. Baik yang bersifat rutinitas maupun kondisional.
           Dari hasil observasi lanjutan yang telah dilaksanakan, diketahuai bahwa beberapa kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh warga baik yang masih aktif maupun mulai pudar bahkan mungkin hilang dikarenakan minimnya pengetahuan keagamaan masyarakat adalah rutinitas yasin dan tahlil ibu-ibu yang dilaksanakan setiap minggu sekali dengan format bergilir dari rumah ke rumah, itupun tidak terjadi pemerataan kegiatan pada setiap dusun, semisal di Dusun Katok dan Dusun Butak yang sama sekali tidak ada kegiatan rutinan ibu-ibu yasinan dan tahlilan. Selain itu yang semula ada rutinitas yasin dan tahlil bapak-bapak setiap 2 minggu sekali dengan format yang sama pada rutinitas ibu-ibu sudah mulai memudar, terbukti dengan mundurnya jadwal 2 minggu sekali menjadi satu bulan sekali, dan di beberapa dusun bahkan hilang.
           Selain itu, ada juga rutinitas diba’iyah yang dilaksanakan oleh para pemuda dan anak-anak Desa Miyono yang menurut laporan tahun lalu dilaksanakan setiap malam minggu menjadi sekedar kegiatan insidental yang waktunya pun tidak ditentukan. Salah satu faktor penyebabnya antara lain tidak adanya pengajar diba’iyah itu sendiri serta semakin maraknya geng motor di kalangan pemuda.
           Setelah kami mengetahui berbagai kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di Desa Miyono, maka kami mencoba menyemarakkan serta menghidupkan kembali setiap kegiatan tersebut. Seperti halnya rutinitas yasin dan tahlil, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Dari situlah kami mengetahui bahwa antusias warga dalam melaksanakan kegiatan keagamaan sangatlah besar, namun pengetahuan keagamaan yang dimiliki warga sangatlah terbatas, baik dari kemampuan membaca Al-Qur’an maupun tidak adanya ceramah keagamaan yang disisipkan pada setiap kegiatan yasin dan tahlil, sehingga terjadi titik jenuh yang dihadapi masyarakat karena merasa stagnan dan tidak ada peningkatan sumberdaya manusia.
          Untuk rutunitas diba’iyah, karena sudah lama tidak pernah aktif, maka kami berusaha menyemarakkan dan mengktifkan kembali, dimulai dengan sosialisai dan recruitmen beberapa pemuda dan anak-anak untuk mengikuti rutinitas diba’iyah di Masjid Darrussalaam Desa Miyono yang kami adakan setelah sholat isya’. Awalnya kegiatan diba’iyah ini memang kami yang memulainya untuk membaca. Namun, kami juga mengajari para pemuda dan anak-anak agar berani dan bisa membaca dibatersebut. Kami berharap setelah kami pulang pun. Rutinitas keagamaan Islam di Desa Miyono masih tetap berjalan aktif. Dan, kami berharap masyarakat Desa Miyono juga mengetahui makna dan manfaat melakukan kegiatan keagamaan sehingga dapat meningkatkan ketaatan beragama mereka.
            Selain beberapa kegiatan keagamaan diatas, kami juga melakukan kegiatan keagamaan yang bersifat kondisional, yakni peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang biasanya masyarakat Miyono menyebutnya dengan istilah“Muludan”. Acara tersebut kami gelar atas kerjasama dengan Ta’mir Masjid Darussalam pada tanggal 09 Februari 2013. Dengan mengundang seluruh masyarakat Desa Miyono dan sahabat-sahabat KKN se-kecamatanSekar.
            Masih ada lagi kegiatan keagamaan di Desa Miyono yang berpotensi tinggi untuk meningkatkan pengetahuan beragama masyarakat. Kegiatan tersebut adalah TPQ. Mengapa dikatakan paling berpotensi, karena lembaga ini merupakan lembaga untuk anak-anak sebagai penerus generasi di Desa Miyono. Ketika proses pembelajaran berjalan dengan baik, maka akan menambah pengetahuan beragama masyarakat Desa Miyono.
            Namun, kegiatan TPQ ini tidak semulus yang diharapkan. Banyak sekali kendala yang ditemui yang ditengarai sebagai penghambat, diantaranya: banyaknya TPQ yang vakum, dusun-dusun yang tidak mempunyai TPQ, dan masalah tersebut tidak begitu saja menjadi penghambat. Kami kelompok 32 KKN berusaha untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan mengadakan diskusi dengan tokoh masyarakat. Dari diskusi bersama tersebut diketahui bahwa permasalahan yang cukup komplek adalah masalah tentang kurangnya tenaga pengajar TPQ.
            Memang penambahan tenaga pengajar TPQ merupakan kebutuhan penting, karena disamping mengenyam pendidikan umum seperti sekolah, pendidikan agama seperti TPQ pun sama penting halnya. Karena keduanya tersebut merupakan bekal dan penentu untuk menghadapi kehidupan yang penuh tantangan mendatang.
            Dan untuk masalah TPQ ini kami fokuskan ke dua dusun yaitu buthak dan katok. Karena kedua dusun ini pada musim penghujan TPQnya tidak ada. Namun TPQ2 lainya tetap kami beri tambahan materi untuk di ajar.
            Perintisan TPQ musim peghujan di Butak Katok kami mencoba untuk bekerjasama dengan SD yang ada di katok dan juga tokoh masyarakat. Dan akhirnya memperoleh kesepakatan :
  1. TPQ musim hujan di adakan di SDN Miyono III yang ada di Katok (karena pada musim kemarau di adakan di Butak), biar ada pemerataan.
  2. Tenaga pengajar awalnya Tim dari KKN namun berangsur-angsur diserahkan kepada pak Purnomo selaku tokoh agama dua dusun tersebut bersama tim pengajar beliau. Pak Purnomo sendiri merupakan perintis masjid yang ada di dusun buthak. Beliau merintis saat berumur 17 tahun. Beliau tamatan SD yang belajar agama di kec. Sekar dan sekali-sekali ke Kota Bojonegoro untuk menimba ilmu agama. Sekarang umur beliau sekitar 32 tahun dan belum menikah.
Setelah berjalan beberapa hari ternyata ibu-ibu dari dua dusun tersebut tergerak untuk membentuk kelompok yasin. Dan akhirnya kami dengan beberapa tokoh masyarakat ibu-ibu membentuk jamaah yasin yang dipimpin teman-teman KKN yang nantinya akan di teruskan oleh Pak Purnomo sebagai pendamping atau pemimpin. Jamaah tersebut benama jamaah yasin roudhotul jannah, nama ini merupakan kenang-kenangan dari temen-temen KKN.
            Selain itu kami juga membuat acara pelatihan guru TPQ untuk memantapkan guru-guru atau calon-calon guru TPQ yang ada disana. Pelatihan itu di isi oleh ustadz dari kabupaten Bojonegoro yaitu Ustadz Fatkhul Mu’in dan Fathur Rochim. Dan di hadiri oleh guru-guru dan calon-calon guru TPQ dari desa tersebut.
            Dan akhirnya, semoga desa Miyono akan lebih maju perekonomian warganya secara keseluruhan dan agamanya juga lebih meningkat.amin



                [1]. “Islam Abangan” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Abangan (11 September 2012)
                [2]. “Islam kejawen” di http://metafisis.wordpress.com (18 September 2012)
                [3]. Tolong carikan buku yang membahas tentang Islam taat.
                [4]. Data ini bisa disimpulkan setelah melakukan beberapa wawancara dan observasi selama lebih kurang 25 hari

No comments:

Post a Comment