MENGURAI RENDAHNYA KETAATAN
BERAGAMA MASYARAKAT DESA MIYONO KECAMATAN SEKAR KABUPATEN BOJONEGORO
(Pendampingan dan Pengorganisasian Masyarakat oleh KKN IAIN Sunan Ampel 2013)
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine
the development of Islam religion in Miyono
Village, Sekar, Bojonegoro. Most of the people in Miyono is Moslem, but the creed about Islam is still
minim. That’s way, need to make the solutions
which can upgrade or increase their spirit to more know Islam deeply.
Factually, Islam in Miyono is a majority but many characteristic which there in
it. There are Islam abangan, Islam kejawen and also Pure Islam (Islam). The
problem which was appeared is how the people can learn Islam purely and well.
This is our duty to learn them. The solutions are we motive them to know and
learn Islam purely. We give spirit and relived the anctivities which can be
fasilited for them to know Islam deeply. On of them is we make caderisation to
be a scholar of Islam (guru mengaji). We train them inti can be a good scholar
of Islam.
Kata kunci: Muslim
abangan, Muslim Kejawen dan Muslim taat.
PEMBAHASAN
Secara
keseluruhan masyarakat desa Miyono memeluk agama Islam. Namun, ada banyak corak
Islam yang mewarnai di Desa Miyono, yaitu: Islam abangan, Islam kejawen, dan Islam
taat. Penjelasan yang mendalam mengenai Islam abangan, Islam kejawen dan Islam
taat dipaparkan dibawah ini:
Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang
berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah. Pertama kali digunakakan
oleh Clifford
Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan dianggap lebih cenderung mengikuti
sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam
sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun,
beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk
varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri
di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala
di kalangan umat Islam di Mesir, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Edward Lane.
Pendapat lainnya ialah bahwa kata abangan
diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti aba'an kurang lebih adalah "yang tidak
konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu
memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak
menjalankan syari'at (Bahasa Jawa:sarengat) adalah kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata
"abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang yang berarti warna merah.[1]
Jadi, Islam abangan disini dimaknai sebagai Islam yang hanya dipeluk dalam hal
identitas saja (Islam di KTP). Namun, pada pelaksaan peribadatan mereka
terkadang tidak konsekwen atau malah tidak mengerjakan sama sekali.
Makna kejawen berasal dari kata Jawa, yang berarti Islam yang membaur
dengan kebudayaan Jawa. Pertama: Sinkretisme,
mencampurkan antara Hindu, Budha dan Islam Aliran Kebatinan atau Kejawen tidak
menganggap salah ajaran Hindu dan Budha, bahkan mereka mencampurnya dengan
Islam hingga menjadi suatu ajaran tersendiri. Adapun dalam Islam Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran:
19) Juga firman Allah: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85).
Kedua: Mereka
tidak meyakini Allah Ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan yang benar Padahal
inilah inti dari kalimat syahadat yang terdapat padanya dua rukun. Pertama:
An-Nafyu (penafikan), yang tedapat dalam kalimat hauqalah maknanya adalah menafikan atau menganggap salah semua
sesembahan selain Allah Ta’ala. Kedua: Al-Itsbat (penetapan) , yang terdapat
dalam kalimat hauqalah yaitu
menetapkan atau meyakini bahwa hanya Allah Ta’ala satu- satunya sesembahan yang
benar. Sehingga makna kalimat hauqalah
adalah, “Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Ta’ala”. Makna ini
terdapat dalam banyak ayat, diantaranya firman Allah Ta’ala: “Yang demikian itu
karena Allah Dialah yang haq (untuk disembah) dan apa saja yang mereka sembah
selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.” (Al- Hajj: 62) Dan telah dimaklumi bersama bahwa syahadat adalah
pintu masuk ke dalam Islam.
Ketiga dan Keempat: Kesyirikan
dalam rububiyyah dan uluhiyyah Keyakinan mereka bahwa setan- setan Merapi dan
Pantai Selatan, seperti Kyai Sapu Jagat, Petruk dan Nyai Roro Kidul adalah
pelindung- pelindung mereka, yang bisa memberikan manfaat dan juga menimpakan
mudharat, adalah kesyirikan dalam rububiyyah. Mereka juga mendekatkan diri
(taqorrub) kepada setan-setan itu dengan berbagai upacara dan mempersembahkan
berbagai macam bentuk ibadah.
Kelima: Tidak
melaksanakan shalat. Aliran
Kebatinan atau Kejawen tidak mementingkan masalah shalat lima waktu, bagi
mereka yang penting sudah eling maka itu cukup sebagai bentuk ibadah kepada
Allah Ta’ala.[2]
Islam taat adalah Islam yang dijalankan sesuai dengan syariat agama
Islam. Baik dari segi keimanan dan juga
peribadatan. Tidak memasukkan unsur-unsur adat atau ajaran nenek moyang yang melanggar islam didalamnya.[3]
Fenomena yang terjadi di Desa Miyono ini seakan membaurkan ketiga makna Islam
yang telah terklasifikasikan tadi. Perbedaan yang sangat tipis antara
ketiganya, juga menjadi pemicu ahwaIslam yang diajarkan oleh nenek moyang
adalah ajaran Islam yang benar.
Hal
ini tidak terlepas dari sejarah Desa Miyono
sendiri, karena pada awalnya penduduk Desa
Miyono memang bukanlah pemeluk agama Islam. Dan
pada tahun 1995 ada seorang perintis yang mempunyai background pendidikan agama Islam cukup
mumpuni dating ke desa tersebut.
Namanya bapak Akhyar, beliau berasal dari Baureno yang merupakan lulusan dari
IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saat beliau datang keadaan masyarakat Desa Miyono
memeluk agama Islam yang kebanyakan Islam abangan, dan sebagian lagi Islam
kejawen serta Islam taat. Kegiatan keagamaan di desa tersebut belum terlaksana
dengan maksimal. Bahkan banyak tempat ibadah (Masjid dan Mushola) masih tidak
terawat hanya bangunan dari kayu dan beralaskan tanah.
Masjid
pertama yang berupa bangunan adalah masjid Darussalam yang berada di Dusun
Krajan pada tahun 1997. Pembangunan masjid tersebut tidak lepas dari bantuan
Pak Akhyar melalui penyebaran proposal. Setelah selesai direnovasi, masjid
sudah mulai ramai jamaah, meski tidak sampai penuh. Kegiatan rutinitas keagamaanpun
mulai berjalan sedikit demi sedikit.
Hingga
saat ini, hampir semua dusun di desa Miyono sudah memiliki masjid. Namun, hanya
Dusun Kathok yang tidak mempunyai masjid dan harus bergabung dengan Dusun
Buthak. Karena letak Dusun Kathok yang berada di atas gunung dan akses jalan
yang harus dilalui sangtlah berat, hal inilah ysng menjadikan masyarakat merasa
enggan untuk beribadah di masjid.
Jama’ah
yang salat di masjid-masjid berkisar antara 2-15
orang saja, hanya di dusun Krajan yang jumlah jama’ahnya lumayan itupun kalau malam. Kalau siang
hamper semuanya bekerja. Tidak hanya jalan yang
menjadi faktor masjid sepi, karena kegiatan harian masyarakat Desa Miyono yang
padat. Urusan perekonomian cukup menyita waktu. Sehingga, masalah ibadahpun
terlupakan. Setiap hari, dari pagi sampai sore masyarakat khususnya laki-laki
bekerja di sawah dan ladang (baun),
baru sore hari mereka kembali ke rumah.
Hampir
setiap dusun pula terdapat TPQ. Namun, karena banyak faktor menyebabkan dua
diantara lima dusun tersebut kehilangan TPQ. Di Dusun Krajan TPQ sudah berjalan
dengan baik, karena terdapat 2 TPQ di dusun tersebut. TPQ Darussalam dan TPQ
Al-Hikmah. Di dusun Gayam terdapat satu TPQ yaitu Al-Mafaz. Sedangkan, di
Buthak dan Kathok TPQ dijadikan satu di dusun Buthak dengan satu pengajar yaitu
Pak Purnomo. Tetapi, TPQ tersebut hanya berjalan pada waktu musim kemarau saja.
Saat musim hujan TPQ tersebut libur karena akses jalan menuju tempat tersebut
sulit dijangkau. Jalan tersebut masih terbuat dari makadam dan licin. Selain
itu Pak Purnomo, juga sebagai pengajar tunggal dan sebagai tulang punggung
keluarga sehingga waktunya banyak tersita untuk kegiatan perekonomian.
Sedangkan, di Dusun Rejoso dulunya ada sebuah TPQ yaitu Al-Huda. Namun, karena
ada suatu kejadian yaitu pak Kasun Supardi yang juga sekaligus sebagai pengajar
disana mendapat kecelakaan dan wafat. Sehingga, tidak ada lagi yang menjadi
pengajar di TPQ tersebut. Akhirnya, TPQ tersebut vakum sampai sekarang.
RENDAHNYA
KETAATAN BERAGAMA MASYARAKAT DESA MIYONO
Seluruh
masyarakat Desa Miyono mayoritas beragama Islam. Namun, hanya sebatas Islam di
KTP saja atau muslim abangan. Ada juga sebagian muslim kejawen yang masih
kental dengan adat istiadat Jawa. Tetapi, ada pula masyarakat Desa Miyono yang
memang taat dalam menjalankan agama Islam. Dengan prosentase masyarakat Desa
Miyono yang masih muslim abangan yaitu 85%, muslim taat atau santri10 %, dan
sisanya yaitu 5% adalah muslim kejawen.[4]
Dilihat
dari prosentase diatas, masih banyak masyarakat yang menjadi muslim abangan.
Berarti masyarakat Desa Miyono masih rendah akan tingkat ketaatan beragama
Islam. Hal tersebut terbukti dengan masih sedikitnya jama’ah salat lima waktu
di masjid-masjid tertentu, bahkan masjid-masjid ini juga sepi walaupun pada
saat salat Jumat, salat yang berhukum wajib bagi umat Islam.
Tingkat
ketaatan beragama Islam masyarakat Desa Miyono juga dipengaruhi dengan
kurangnya pengetahuan akan agama Islam, ditambah lagi dengan keterbatasan waktu
masyarakat tersebut untuk belajar agama maupun melakukan kegiatan keagamaan.
Karena masyarakat Desa Miyono mayoritas bekerja di sawah dan ladang mulai dari
pagi sampai sore hari.
Selain
keterbatasan pengetahuan agama dan waktu, desa ini juga tidak mempunyai banyak tokoh
agama yang menjadi panutan masyarakat. Bahkan modin perempuanpun tidak ada di
desa ini. Jika ada orang perempuan yang meninggal, maka yang merawat jenazahnya
adalah keluarganya dengan dibantu Bu Bayan dalam pengawasan modin laki-laki.
Selain
faktor diatas, rendahnya ketaatan beragama Islam masyarakat Desa Miyono juga
dipengaruhi oleh pelaksanaan kegiatan keagamaan yang kurang maksimal.
Pelaksanaan kegiatan keagamaan yang kurang maksimal ini terjadi akibat tidak
adanya konjungsi antara harapan dan realitas yang ada. Disatu sisi mayarakat ingin sekali
memaksimalkan kegiatan keagamaan Islam yang ada seperti yasinan, tahlilan,
maupun dziba’an. Sementara disisi lain, rendahnya tingkat kemampuan membaca
Al-Qur’an dan tidak adanya tokoh agama yang memadai menjadikan kegiatan
tersebut kurang maksimal.
Kepercayaan
masyarakat desa Miyono masih terbagi dalam dua karakteristik, yaitu masyakat
yang masih tergolong muslim abangan dan muslim taat. Dari karakteristik yang
berbeda tersebut, tentunya rutinitas ritual keagamaan masyarakat desa Miyono
juga berbeda. Masyarkat yang tergolong muslim taat melakukan kegiatan keagamaan
seperti salat 5 waktu, puasa, zakat, tahlil, serta mengaji. Sedangkan,
masyarakat muslim abangan masih belum sepenuhnya mengerjakan hal yang wajib dan
sunnah dalam beragama Islam. Masyarakat yang tergolong muslim taat, sudah
banyak melakukan hal-hal yang bersifat wajib dan sunnah dalam agama Islam. Namun, pada masyarakat muslim
abangan terlihat sekali bahwa pengetahuan
beragama mereka tergolong rendah.
Hal tersebut tentu
dipengaruhi oleh kurangnya tokoh
agama atau tokoh
masyarakat yang menjadi panutan atau figur bagi mereka. Memang makna tokoh agama atau kyai pada desa
ini merupakan orang yang bisa memimpin dalam hal keagamaan,
misalnya: salat, tahlilan,dll.
Berdasar
dari berbagai sumber, masalah-masalah yang ditemukan di wilayah desa Miyono
adalah masalah yang condong pada aspek keagamaan yang ditenggarai penyebab dari
masalah tersebut berakar dari masalah ekonomi dan pendidikan. Jika dilihat dari
segi ekonomi, masyarakat desa Miyono tergolong masyarakat yang menegah kebawah
yang membuat mereka meyibukkan diri dalam hal bekerja, dan rata-rata masyarakat
desa Miyono bekerja sebagai petani yang rata-rata jam kerjanya dari pagi sampai
sore hari. Hal tersebut
yang menjadika tidak adanya waktu untuk mereka melakukan rutinitas ibadah dan
belajar ilmu agama islam lebih dalam lagi. Tidak hanya itu, kurangnya tokoh
agama yang menjadi figur atau panutan juga sedikit sekali. Oleh karena itui
menjadikan pengetahuan masyarakat tentang agama juga kurang, tambah lagi dengan
sedikitnya masyarakat yang berbasis pendidikan pondok.
PEMECAHAN MASALAH
Pemecahan
masalah merupakan rangkaian proses dalam pemecahan masalah yang terfokus pada
masalah yang telah ditemukan di Desa Miyono, yakni tentang lemahnya pengetahuan
beragama Islam masyarakat Desa Miyono. Langkah yang dimulai adalah dengan
observasi lapangan yang dilakukan dengan wawancara di rumah-rumah warga. Dan,
dari warga kebanyakan mengatakan masalah agama-lah yang paling berpengaruh. Dari
hasil observasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa masalah utamanya adalah
lemahnya pengetahuan beragama Islam yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
karena warga yang terlalu sibuk bekerja, kurangnya pengetahuan dan kesadaran
masyarakat akan pentingnya beragama, dan kurangnya tokoh agama sebagai figur
atau panutan serta kurangnya tokoh masyarakat sebagai penggerak dalam melakukan
rutinitas kegiatan keagamaan.
Berkurangnya
masyarakat yang abangan dengan mengadakan aktifitas TPQ yang diharapkan akan
berjalan dengan baik. Dari beberapa faktor penyebab lemahnya pengetahuan
beragama pada masyarakat Desa Miyono di atas, maka langakah pertama yang dapat
kita laksanakan adalah mencari serta menggali potensi yang dapat meningkatkan
pengetahuan beragama masyarakat Desa Miyono, dengan cara mencari kegiatan
rutinan keagamaan yang mempunyai dampak secara langsung terhadap peningkatan
pengetahuan beragama masyarakat yang biasa dilakukan. Baik yang bersifat
rutinitas maupun kondisional.
Dari hasil observasi lanjutan yang telah
dilaksanakan, diketahuai bahwa beberapa kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh
warga baik yang masih aktif maupun mulai pudar bahkan mungkin hilang
dikarenakan minimnya pengetahuan keagamaan masyarakat adalah rutinitas yasin
dan tahlil ibu-ibu yang dilaksanakan setiap minggu sekali dengan format
bergilir dari rumah ke rumah, itupun tidak terjadi pemerataan kegiatan pada
setiap dusun, semisal di Dusun Katok dan Dusun Butak yang sama sekali tidak ada
kegiatan rutinan ibu-ibu yasinan dan tahlilan. Selain itu yang semula ada
rutinitas yasin dan tahlil bapak-bapak setiap 2 minggu sekali dengan format
yang sama pada rutinitas ibu-ibu sudah mulai memudar, terbukti dengan mundurnya
jadwal 2 minggu sekali menjadi satu bulan sekali, dan di beberapa dusun bahkan
hilang.
Selain itu, ada juga rutinitas
diba’iyah yang dilaksanakan oleh para pemuda dan anak-anak Desa Miyono yang
menurut laporan tahun lalu dilaksanakan setiap malam minggu menjadi sekedar
kegiatan insidental yang waktunya pun tidak ditentukan. Salah satu faktor
penyebabnya antara lain
tidak adanya pengajar diba’iyah itu sendiri serta semakin maraknya geng motor
di kalangan pemuda.
Setelah kami mengetahui berbagai
kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di Desa Miyono, maka kami mencoba menyemarakkan serta
menghidupkan kembali setiap kegiatan tersebut. Seperti halnya rutinitas yasin
dan tahlil, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Dari situlah kami mengetahui bahwa
antusias warga dalam melaksanakan kegiatan keagamaan sangatlah besar, namun
pengetahuan keagamaan yang dimiliki warga sangatlah terbatas, baik dari kemampuan membaca Al-Qur’an maupun tidak adanya ceramah
keagamaan yang disisipkan pada setiap kegiatan yasin dan tahlil, sehingga
terjadi titik jenuh yang dihadapi masyarakat karena merasa stagnan dan tidak
ada peningkatan sumberdaya manusia.
Untuk rutunitas diba’iyah, karena
sudah lama tidak pernah aktif, maka kami berusaha menyemarakkan dan mengktifkan
kembali, dimulai dengan sosialisai dan recruitmen beberapa pemuda dan anak-anak
untuk mengikuti rutinitas diba’iyah di Masjid Darrussalaam Desa Miyono yang kami
adakan setelah sholat isya’.
Awalnya kegiatan diba’iyah ini memang kami
yang memulainya untuk
membaca. Namun, kami juga
mengajari para pemuda dan
anak-anak agar berani dan bisa membaca
diba’ tersebut. Kami berharap setelah kami pulang pun. Rutinitas keagamaan Islam di Desa Miyono masih
tetap berjalan aktif.
Dan, kami berharap masyarakat Desa Miyono juga mengetahui makna dan
manfaat melakukan kegiatan keagamaan sehingga dapat meningkatkan ketaatan beragama
mereka.
Selain
beberapa kegiatan keagamaan diatas, kami juga melakukan kegiatan keagamaan yang
bersifat kondisional, yakni peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang biasanya masyarakat
Miyono menyebutnya dengan istilah“Muludan”. Acara tersebut kami gelar atas kerjasama
dengan Ta’mir Masjid Darussalam pada tanggal 09 Februari 2013.
Dengan mengundang seluruh
masyarakat Desa Miyono dan
sahabat-sahabat KKN se-kecamatanSekar.
Masih ada lagi kegiatan
keagamaan di Desa Miyono yang berpotensi tinggi untuk meningkatkan
pengetahuan beragama masyarakat. Kegiatan tersebut adalah TPQ. Mengapa dikatakan paling berpotensi, karena
lembaga ini merupakan lembaga
untuk anak-anak sebagai
penerus generasi di Desa Miyono. Ketika
proses pembelajaran berjalan
dengan baik, maka akan
menambah pengetahuan beragama masyarakat Desa Miyono.
Namun, kegiatan TPQ ini
tidak semulus yang diharapkan. Banyak sekali kendala
yang ditemui yang ditengarai sebagai penghambat, diantaranya: banyaknya TPQ
yang vakum, dusun-dusun yang tidak mempunyai TPQ, dan masalah tersebut tidak begitu
saja menjadi penghambat. Kami
kelompok 32 KKN berusaha untuk
memecahkan masalah tersebut. Dengan mengadakan diskusi
dengan tokoh masyarakat. Dari diskusi bersama tersebut diketahui bahwa permasalahan yang cukup komplek adalah
masalah tentang kurangnya tenaga pengajar TPQ.
Memang penambahan tenaga pengajar TPQ merupakan kebutuhan penting,
karena
disamping mengenyam pendidikan umum seperti sekolah,
pendidikan agama seperti TPQ pun sama penting halnya. Karena keduanya tersebut merupakan bekal dan penentu
untuk menghadapi kehidupan
yang penuh tantangan
mendatang.
Dan untuk masalah TPQ ini kami
fokuskan ke dua dusun yaitu buthak dan katok. Karena kedua dusun ini pada musim
penghujan TPQnya tidak ada. Namun TPQ2 lainya tetap kami beri tambahan materi
untuk di ajar.
Perintisan TPQ musim peghujan di Butak
Katok kami mencoba untuk bekerjasama dengan SD yang ada di katok dan juga tokoh
masyarakat. Dan akhirnya memperoleh kesepakatan :
- TPQ musim hujan di adakan di SDN Miyono III yang ada di Katok
(karena pada musim kemarau di adakan di Butak), biar ada pemerataan.
- Tenaga pengajar awalnya Tim dari KKN namun berangsur-angsur
diserahkan kepada pak Purnomo selaku tokoh agama dua dusun tersebut
bersama tim pengajar beliau. Pak Purnomo sendiri merupakan perintis masjid
yang ada di dusun buthak. Beliau merintis saat berumur 17 tahun. Beliau tamatan
SD yang belajar agama di kec. Sekar dan sekali-sekali ke Kota Bojonegoro
untuk menimba ilmu agama. Sekarang umur beliau sekitar 32 tahun dan belum
menikah.
Setelah berjalan
beberapa hari ternyata ibu-ibu dari dua dusun tersebut tergerak untuk membentuk
kelompok yasin. Dan akhirnya kami dengan beberapa tokoh masyarakat ibu-ibu
membentuk jamaah yasin yang dipimpin teman-teman KKN yang nantinya akan di
teruskan oleh Pak Purnomo sebagai pendamping atau pemimpin. Jamaah tersebut
benama jamaah yasin roudhotul jannah, nama ini merupakan kenang-kenangan dari
temen-temen KKN.
Selain itu kami juga membuat acara
pelatihan guru TPQ untuk memantapkan guru-guru atau calon-calon guru TPQ yang
ada disana. Pelatihan itu di isi oleh ustadz dari kabupaten Bojonegoro yaitu
Ustadz Fatkhul Mu’in dan Fathur Rochim. Dan di hadiri oleh guru-guru dan
calon-calon guru TPQ dari desa tersebut.
Dan akhirnya, semoga desa Miyono
akan lebih maju perekonomian warganya secara keseluruhan dan agamanya juga
lebih meningkat.amin
No comments:
Post a Comment