D.
Metode Sorogan
- Pengertian metode sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa) yang berarti menyodorkan. Disebut demikian
karena setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau pembantunya (badal, asisten kyai). Badal juga bisa dipegang oleh santri
yang memiliki kelebihan potensi intelektual[1].
Metode sorogan biasanya lazim di gunakan dalam dunia
pesantren salaf. Sampai sekarang masih banyak pesantren salaf yang menggunakan
metode ini. Menurut Mujamil
Qomar, metode sorogan merupakan
suatu metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada
santri secara individual[2].
Kementerian Agama RI mengartikan metode sorogan adalah “belajar secara individual di mana seorang santri
berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara
keduanya”[3].
Dari pengertian tentang metode sorogan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa metode sorogan adalah cara penyampaian bahan pelajaran dimana kyai atau guru mengajar santri seorang demi
seorang secara bergilir dan bergantian, santri membawa kitab
sendiri-sendiri. Mula-mula kyai membacakan kitab yang diajarkan kemudian
menterjemahkan kata demi kata serta menerangkan maksudnya, setelah itu santri
disuruh membaca dan mengulangi seperti apa yang telah dilakukan kyai, sehingga
setiap santri menguasainya.
Dalam dunia pendidikan dan pembelajaran tradisional,
metode sorogan dianggap sebagai metode yang rumit dan sulit. Kerumitan metode
ini dikarenakan sangat memerlukan kesabaran, kerajinan, dan kedisiplinan santri
atau murid secara pribadi. Ini berarti keberhasilan dalam metode ini dominan
sangat ditentukan oleh ketaatan santri itu sendiri terhadap kyai atau gurunya,
Meskipun pada hakikatnya penjelasan dari kyai atau guru juga ikut menentukan.
Walaupun metode sorogan
dianggap rumit, Qodry A. Azizy menilai bahwa metode sorogan lebih efektif dari
metode-metode yang lain dalam dunia pesantren. Dengan cara santri menghadap
kyai atau guru secara individual untuk menerima pelajaran secara langsung.
Kemampuan santri dapat terkontrol oleh kyai atau guru[4].
Dengan metode ini memungkinkan bagi seorang guru (ustadz atau kyai) untuk
mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang
murid/santri dalam menguasai pelajaran.
Tim Ditpekanpontren
Kementerian Agama RI mencatat beberapa kelebihan metode sorogan sehingga bisa
disebut sebagai metode yang intensif[5].
Kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya :
1.
Ada interaksi individual
antara kyai dan santri.
2.
Santri sebagai peserta didik
lebih dapat dibimbing dan diarahkan dalam pembelajarannya, baik dari segi
bahasa maupun pemahaman isi kitab.
3.
Dapat dikontrol, dievaluasi
dan diketahui perkembangan dan kemampuan diri santri.
4.
Ada komunikasi efektif antara
santri dan pengajarnya.
5.
Ada kesan yang mendalam dalam
diri santri dan pengajarnya.
Menurut Sa’id Aqiel Siradj
kelebihan metode sorogan[6],
yaitu :
1. kemajuan
individu lebih terjamin karena setiap santri dapat menyelesaikan program
belajarnya sesuai dengan kemampuan individu masing-masing, dengan demikian
kemajuan individual tidak terhambat oleh keterbelakangan santri yang lain.
2.
memungkinkan perbedan kecepatan belajar para santri,
sehingga ada kompetisi sehat antar santri.
3.
memungkinkan seorang guru mengawasi dan membimbing
secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai pelajarannya.
4. memiliki
ciri penekanan yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal.
- Penyampaian metode sorogan di pondok pesantren
Dalam mengikuti pelajaran santri mempunyai kebebasan penuh baik dalam
kehadiran, pemilihan pelajaran, tingkat pelajaran, dan sikapnya dalam mengikuti
pelajaran. Tentang hal ini Abdurrahman Wahid juga mengemukakan hipotesa bahwa : “sistem
pendidikan di pesantren pun memiliki watak mandiri seperti itu, bila dilihat
secara keseluruhan. Bermula dari pengajaran sorogan”[7].
Jadi dapat dipahami bahwa metode sorogan memiliki hubungan (korelasi) terhadap pembentukan sikap
mandiri, khususnya kemadirian santri dalam belajar.
Pembelajaran dengan sistem sorogan biasanya
diselenggarakan pada ruang tertentu dan waktu yang telah ditentukan. Ada tempat
duduk kyai, di depannya ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi
santri-santri. Santri datang dengan membawa kitab yang hendak dikaji, kemudian Kyai membacakan pelajaran yang berbahasa Arab kalimat
demi kalimat kemudian menerjemahkan dengan bahasa daerah dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak ataupun ngesahi (memberi
harkat dan terjemah) dengan memberi catatan pada kitabnya. Kemudian santri di panggil satu-satu dan disuruh membaca dan mengulangi semirip mungkin seperti yang dilakukan kyainya, serta mampu
menguasainya.bersambung
[1] Mujamil Qomar,Pesantren Dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokratisasi Institusi(Jakarta: Erlangga, 2005), h.20
[2]
Ibid., h.142
[3] Departemen Agama RI, Pondok Pesantren Dan Madrasah Diniyah( Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h.38
[4] Akhmad Zaenuri. http://sazmgl.blogspot.com/2010/12/metode-sorogan.html. Metode Sorogan. 2010. (27 Juni 2013)
[5] Ibid
No comments:
Post a Comment