Friday, 20 June 2014

Pengembangan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan metode sorogan dan team teaching pada materi bilangan di kelas VII B MTs Nurul Jadid Sidayu Gresik bab 2 D. Metode Sorogan



D.       Metode Sorogan
  1. Pengertian metode sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa) yang berarti menyodorkan. Disebut demikian karena setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau pembantunya (badal, asisten kyai). Badal juga bisa dipegang oleh santri yang memiliki kelebihan potensi intelektual[1].
Metode sorogan biasanya lazim di gunakan dalam dunia pesantren salaf. Sampai sekarang masih banyak pesantren salaf yang menggunakan metode ini. Menurut Mujamil Qomar,  metode sorogan merupakan suatu metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual[2].
Kementerian Agama RI mengartikan metode sorogan adalah “belajar secara individual di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya”[3].
Dari pengertian tentang metode sorogan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa metode sorogan adalah cara penyampaian bahan pelajaran dimana kyai atau guru mengajar santri seorang demi seorang secara  bergilir dan bergantian, santri membawa kitab sendiri-sendiri. Mula-mula kyai membacakan kitab yang diajarkan kemudian menterjemahkan kata demi kata serta menerangkan maksudnya, setelah itu santri disuruh membaca dan mengulangi seperti apa yang telah dilakukan kyai, sehingga setiap santri menguasainya.
Dalam dunia pendidikan dan pembelajaran tradisional, metode sorogan dianggap sebagai metode yang rumit dan sulit. Kerumitan metode ini dikarenakan sangat memerlukan kesabaran, kerajinan, dan kedisiplinan santri atau murid secara pribadi. Ini berarti keberhasilan dalam metode ini dominan sangat ditentukan oleh ketaatan santri itu sendiri terhadap kyai atau gurunya, Meskipun pada hakikatnya penjelasan dari kyai atau guru juga ikut menentukan.
Walaupun metode sorogan dianggap rumit, Qodry A. Azizy menilai bahwa metode sorogan lebih efektif dari metode-metode yang lain dalam dunia pesantren. Dengan cara santri menghadap kyai atau guru secara individual untuk menerima pelajaran secara langsung. Kemampuan santri dapat terkontrol oleh kyai atau guru[4]. Dengan metode ini memungkinkan bagi seorang guru (ustadz atau kyai) untuk mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid/santri dalam menguasai pelajaran.
Tim Ditpekanpontren Kementerian Agama RI mencatat beberapa kelebihan metode sorogan sehingga bisa disebut sebagai metode yang intensif[5]. Kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya :
1.    Ada interaksi individual antara kyai dan santri.
2.    Santri sebagai peserta didik lebih dapat dibimbing dan diarahkan dalam pembelajarannya, baik dari segi bahasa maupun pemahaman isi kitab.
3.    Dapat dikontrol, dievaluasi dan diketahui perkembangan dan kemampuan diri santri.
4.    Ada komunikasi efektif antara santri dan pengajarnya.
5.    Ada kesan yang mendalam dalam diri santri dan pengajarnya.

Menurut Sa’id Aqiel Siradj  kelebihan metode sorogan[6], yaitu :
1.    kemajuan individu lebih terjamin karena setiap santri dapat menyelesaikan program belajarnya sesuai dengan kemampuan individu masing-masing, dengan demikian kemajuan individual tidak terhambat oleh keterbelakangan santri yang lain.
2.    memungkinkan perbedan kecepatan belajar para santri, sehingga ada kompetisi sehat antar santri.
3.    memungkinkan seorang guru mengawasi dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai pelajarannya.
4.    memiliki ciri penekanan yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal.
  1. Penyampaian metode sorogan di pondok pesantren
Dalam mengikuti pelajaran santri mempunyai kebebasan penuh baik dalam kehadiran, pemilihan pelajaran, tingkat pelajaran, dan sikapnya dalam mengikuti pelajaran. Tentang hal ini Abdurrahman Wahid juga mengemukakan hipotesa bahwa : “sistem pendidikan di pesantren pun memiliki watak mandiri seperti itu, bila dilihat secara keseluruhan. Bermula dari pengajaran sorogan[7]. Jadi dapat dipahami bahwa metode sorogan memiliki hubungan (korelasi) terhadap pembentukan sikap mandiri, khususnya kemadirian santri dalam belajar.
Pembelajaran dengan sistem sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu dan waktu yang telah ditentukan. Ada tempat duduk kyai, di depannya ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi santri-santri. Santri datang dengan membawa kitab yang hendak dikaji, kemudian Kyai membacakan pelajaran yang berbahasa Arab kalimat demi kalimat kemudian menerjemahkan dengan bahasa daerah dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak ataupun ngesahi (memberi harkat dan terjemah) dengan memberi catatan pada kitabnya. Kemudian santri di panggil satu-satu dan disuruh membaca dan mengulangi semirip mungkin seperti yang dilakukan kyainya, serta mampu menguasainya.


bersambung 


[1] Mujamil Qomar,Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi(Jakarta: Erlangga, 2005), h.20
[2] Ibid., h.142
[3] Departemen Agama RI, Pondok Pesantren Dan Madrasah Diniyah( Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h.38
[4] Akhmad Zaenuri. http://sazmgl.blogspot.com/2010/12/metode-sorogan.html. Metode Sorogan. 2010. (27 Juni 2013)
[5]  Ibid
[6] Sa’id Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan( Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h.281
[7] Abdurrahman wahid, Menggerakkan Tradisi(Yogyakarta: LkiS, 2001), h.104

No comments:

Post a Comment